Kamis, 23 Juli 2020

Sistem Peradilan Pidana Anak

Penanganan perkara pidana terhadap anak tentunya beda dengan penanganan perkara terhadap usia dewasa, penanganan terhadap anak tersebut bersifat khusus karena itu diatur pula dalam peraturan tersendiri. Pemahaman terhadap proses penanganan perkara anak tentunya mungkin masih ada sebahagian kalangan masyarakat yang belum mengerti atau paham, sehingga kadang-kadang memunculkan penilaian bermacam-macam, malah yang lebih fatal bilamana terjadi salah penilaian bahwa penanganan terhadap anak khususnya anak yang berkonflik hukum mendapatkan perlakuan istimewa dan ada juga yang menganggap anak tidak bisa dihukum padahal tidak sejauh itu, hanya saja proses penanganannya diatur secara khusus.
Perlu dipahami bahwa terkait dengan penanganan anak yang berhadapan hukum tersebut tentunya didasarkan pada beberapa ketentuan perundang-undangan yang bersifat khusus yakni antara lain sebagai berikut:
  • Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, sebelumnya Undang Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
  • Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
  • Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang;
  • Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun;
  • Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak;
  • Peraturan Jaksa Agung No. 06/A/J.A/04/2015 tentang Pedoman Pelaksanan Diversi.
Sistem Peradilan Pidana Anak
Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani proses pidana yang berdasarkan perlindungan, keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proporsional, perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran balasan (videPasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam sistem peradilan pidana anak bahwa terhadap anak adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban dan anak yang menjadi saksi dalam tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan hukumadalah anak yang yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana; Anak yang menjadi korbanadalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang mengalami penderitaan fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang disebabkan tindak pidana; Anak yang menjadi saksiadalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan proses hukum mulai tingkat penyidikan, penuntutan dan sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat dan atau dialami;
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak melampaui batas umur 18 tahun tetapi belum mencapai umur 21 tahun anak tetap diajukan ke sidang anak (Pasal 20 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Selanjutnya dalam hal anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, mengambil keputusan untuk menyerahkanan kepada orang tua/wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan pada instansi pemerintah atau lembaga penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menangani bidang kesejateraan sosial (Pasal 21 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak jo,Pasal 67 Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun).
Kalau dalam perkara dewasa (usia 18 tahun ke atas) setiap tingkatan pemeriksaan tidak perlu didampingi orang tua/wali namun dalam perkara anak berhadapan hukum perlu didampingi orang tua/wali.
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana anak yakni Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial
  • Penyidik adalah Penyidik Anak;
  • Penuntut Umum adalah Penuntut Umum Anak;
  • Hakim adalah Hakim Anak;
  • Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemsyarakatan, pembimbingan, pengawasan, pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana;
  • Pekerja Sosial adalah seseorang yang bekerja baik pada lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, dan atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan masalah sosial;
Proses Penyidikan dan Penuntutan terhadap Perkara Anak
Penyidikan dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan keputusan kepala kepolisian atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian RI sedangkan penuntutan dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Dalam melakukan penyelidiikan terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran-saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan kemudian Balai Penelitian Kemasyarakatan wajib menyerahkan hasil penelitian kemasyarakatan paling lama 3 hari sejak permintaan penyidik.
Dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak korban penyidik wajib meminta laporan sosial dari pekerja sosial atau tenaga kesejahtaraan sosial setelah tindak pidana dilaporkan; selanjutnya terhadap anak yang diajukan sebagai anak yang berkonflik hukum (ABH) pada tingkat penyidikan, penuntutan dan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan wajib diupayakan diversi.
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana di luar proses peradilan pidana, dan terhadap proses tersebut dengan syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun;
  2. Dan bukan pengulangan tindak pidana;
Selanjutnya selain ketentuan tersebut, berlaku pula terhadap anak yang didakwa melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam pidana penjara (tujuh) tahun atau lebih dalam bentuk dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan) (Pasal 7 PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak))
Diversi bertujuan:
  • Mencapai perdamaian anatara korban dan anak;
  • Menyelesaikan perkara anak diluar proses peradilan;
  • Menghindarkan anak dari dari perampasan kemerdekaan;
  • Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi ;
  • Dan menanamkan rasa tanggung jawab pada anak;
Dalam proses Diversi itu sendiri tentunya ada pihak yang dilibatkan yakni anak, orang tua, korban, dan atau orang tua/wali, pembimbing kemasyarakatan dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restorative justiceyang mengadung arti bahwa penyelesain perkara tindak pidana yang melibatkan pelaku, korban dan pihak-pihak lain terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.
Dari hasil kesepakatan diversi: perdamaian dapat berupa: dengan atau ganti kerugian, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikut sertaan dalam pendidikan/pelatihan dilembaga pendidikan atau LPKS, pelayanan masyarakat. Dalam hal kesepakatan tercapai, maka setiap pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan diversi untuk diterbitkan penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, penghentian pemeriksaan perkara dan bilamana tercapai maka proses pemeriksaan dilanjutkan. Selanjutnya dalam hal tidak terjadi kesepakatan dalam waktu yang ditentukan maka pembimbing kemasyakatan segera melaporkan kepada pejabat untuk menindaklanjuti proses pemeriksaan.
Proses Pemeriksaan Anak
Penyidik, Penuntut Umum, Pembimbing Kemasyarakatan dan atau pemberi bantuan hukum dan petugas lainnya dalam memeriksa perkara anak, anak korban dan atau anak saksi tidak memakai toga atau atribut kedinasan (Pasal 22 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), kemudian dalam setiap tingkatan pemeriksaan anak wajib diberikan bantuan hukum dan didampingi oleh pembimbing kemasyarakatan atau pendamping dengan ketentuan yang berlaku;
Bahwa terkait penahanan terhadap anak (Pasal 32 UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak) adalah sebagai berikut:
  • Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal memperoleh jaminan dari orang tua atau lembaga bahwa anak tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau merusak barang bukti atau tidak akan mengulangi tindak pidana;
  • Penahananan dapat dilakukan dengan syarat:
    • Umur anak 14 (empat belas) tahun;
    • Diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara selama 7 tahun atau lebih.
Penahanan terhadap anak tentunya berbeda pula dengan terdakwa {dewasa} dan terhadap penahanan terhadap anak yang berkonflik hukum tersebut yakni sebagai berikut:
  1. Penahanan oleh Penyidik paling lama 7 hari dan dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum, selama 8 hari; sedangkan terhadap terdakwa dewasa 20 hari dengan perpanjangan 40 hari;
  2. Penahanan oleh Penuntut Umum, paling lama 5 hari kemudian dapat diperpanjang oleh Hakim selama 5 hari sedangkan terhadap terdakwa dewasa 20 Hari dan diperpanjang selama 30 hari;
  3. Penahanan Hakim selama 10 hari kemudian diperpanjang selama 15 hari oleh Ketua PN, sedangkan terdakwa dewasa adalah 30 hari dan dapat diperpanjang selama 60 hari.
Proses pemeriksaan pada sidang pengadilan
Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap anak dalam tingkat pertama dilakukan dengan hakim tunggal, namun Ketua Pengadilan dalam pemeriksaan perkara anak dengan hakim majelis dalam hal tindak pidana yang diancam pidana penjara 7 tahun atau lebih sulit pembuktiannya. Hakim dalam memeriksa perkara anak dalam sidang anak dinyatakan tertutup untuk umum kecuali pembacaan putusan. Kemudian dalam peroses persidangan (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak) Hakim wajib memerintahkan orang tua/wali atau pendamping atau pemberi bantuan hukum lainnya; dalam hal orang tua,wali atau pendamping tidak hadir, sidang dilanjutkan dengan didampingi advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya dan atau pembimbing kemsyarakatan.
Bahwa pada saat memeriksa anak korban atau anak saksi, hakim dapat memerintahkan agar anak dibawa keluar (Pasal 58 Undang-Undang R.I. Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Dalam hal anak korban atau anak saksi tidak dapat untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan, hakim dapat memerintahkan anak korban atau anak saksi didengar keterangannya di luar persidangan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan dengan dihadiri penyidik atau Penuntut Umum dan Advokat atau pemberi bantuan hukum, melalui pemeriksaan jarak jauh atau teleconference(Pasal 58 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Hakim sebelum menjatuhkan putusan memberikan kesempatan kepada orang tua/wali/pendamping untuk mengemukakan hal yang bermanfaat bagi anak, kemudian pada saat pembacaan putusan pengadilan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat tidak dihadiri oleh anak.
Penjatuhan hukuman terhadap anak yang berkonflik hukum dapat dikenakan pidana dan tindakan, dan anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.
Bahwa terhadap anak yang berkonflik hukum yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan bukan pemidanaan, yang meliputi pengembalian kepada orang tua, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, dan perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), kewajiban mengikuti pendidikan formal dan atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta dan pencabutan Surat Ijin Mengemudi, dan perbaikan akibat tindak pidananya. Sedangkan anak yang sudah berusia 14 tahun ke atas tersebut dapat saja dijatuhi pidana dengan macam-macam pidana sebagaimana dalam Pasal 71 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yakni sebagai berikut:
  1. Pidana pokok yang terdiri dari a. pidana peringatan; b. pidana bersyarat (pembinaan pada lembaga, pelayanan masyarakat, pengawasan); c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga dan penjara;
  2. Pidana tambahan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pemenuhan kewajiban adat.
Apabila dalam hukum materil seorang anak yang berkonflik hukum diancam pidana kumulatif berupa pidana penjara dan denda, maka pidana denda diganti denan pelatihan kerja paling singkat 3 bulan dan paling lama 1 tahun. Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama ½ dari maksimun pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa (Pasal 79 ayat 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), sedangkan terhadap ketentuan minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak (Pasal 79 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Penahanan terhadap anak yang berkonflik hukum ditempatkan pada Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), sedangkan tempat anak menjalani masa pidananya ditempatkan pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Kemudian terhadap tempat anak mendapatkan pelayanan sosial berada pada Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).
Terhadap putusan Hakim pada tingkat pertama, baik anak yang berkonflik hukum mapun Penuntut Umum tentunya dapat melakukan upaya hukum selanjutnya yakni banding, kasasi dan peninjauan kembali.
Terhadap anak yang diajukan sebagai anak yang berkonflik hukum, yakni anak korban dan anak saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kesimpulan: berdasarkan uraian tersebut terlihat jelas bahwa penanganan anak berhadapan hukum berbeda dengan penanganan terhadap orang dewasa yang berhadapan hukum, dalam sistem peradilan pidana anak sangat mengutamakan penanganan perkara anak mengedepankan keadilan restoratif.

Demikian sekilas tentang penanganan pidana terhadap anak yang berhadapan hukum.

Selasa, 13 Juni 2017

Paguyuban Sarjana Hukum HKBP Distrik VIII DKI-Jakarta

Be The Pioneer!

http://pelitabatak.com/news/Paguyuban-Sarjana-Hukum-dan-Bantuan-Hukum-HKBP-Distrik-VIII-DKI-Jakarta-Dilantik

http://pelitabatak.com/news/Susunan-Pengurus-Paguyuban-Sarjana-Hukum-dan-Bantuan-Hukum-HKBP-Distrik-VIII-DKI-Jakarta

https://www.facebook.com/groups/1707988855882538/

Regards,

Golfried, S.H.

Minggu, 05 Juni 2016

Gugat Cerai Pengadilan Agama

LANGKAH-LANGKAH YANG HARUS DILAKUKAN PENGGUGAT (ISTRI) ATAU KUASANYA :
1.         Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009);
2.         Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah tentang tata cara membuat surat gugatan (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009);
3.         Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah menjawab surat gugatan ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas persetujuan Tergugat.
4.         Gugatan tersebut diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah :
a.          Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo Pasal 32 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974);
b.          Bila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iyah yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (2) UU No.7 Tahun 1989);
c.          Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada pengadilan agama/mahkamah syar’iah yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU No.7 Tahun 1989).
5.         Permohonan tersebut memuat :
1.          Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat kediaman Pemohon dan Termohon;
2.          Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
3.          Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan posita).
6.         Gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian atau sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989).


7.         Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
8.         Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri persidangan berdasarkan panggilan pengadilan agama/mahkamah syar’iah (Pasal 121, 124, dan 125 HIR, 145 R.Bg).

Proses Penyelesaian Perkara
1.              Penggugat mendaftarkan gugatan perceraian ke pengadilan agama/mahkamah syar’iah.
2.              Penggugat dan Tergugat dipanggil oleh pengadilan agama/mahkamah syar’iah untuk menghadiri persidangan.
3.              Tahapan persidangan :
a.     Pada pemeriksaan sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak, dan suami istri harus datang secara pribadi (Pasal 82 UU No. 7 Tahun 1989);
b.     Apabila tidak berhasil, maka hakim mewajibkan kepada kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi (Pasal 3 ayat (1) PERMA No. 2 Tahun 2003);
c.     Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan membacakan surat permohonan, jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan. Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian) Termohon dapat mengajukan gugatan rekonvensi (gugat balik) (Pasal 132 a HIR, 158 R.Bg);
4.              Putusan pengadilan agama/mahkamah syar’iyah atas permohonan cerai gugat sebagai berikut :
a.     Gugatan dikabulkan. Apabila Tergugat tidak puas dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iah tersebut;
b.     Gugatan ditolak. Penggugat dapat mengajukan banding melalui pengadilan agama/mahkamah syar’iah tersebut;
c.     Gugatan tidak diterima. Penggugat dapat mengajukan gugatan baru.
5.              Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap maka panitera pengadilan agama/mahkamah syar’iah memberikan Akta Cerai sebagai surat bukti cerai kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak.


Senin, 16 Mei 2016

Cek (cheque)

JASA-JASA PERBANKAN ELEKTRONIK ECERAN

PENYIMPANAN AMAN CEK
1.Pengertian Cek (cheque)
Yang dimaksud dengan cek adalah surat berharga yang berisikan perintah membayar tidak bersyarat yang ditujukan kepada bank. Perintah membayar ini dapat dikeluarkan atas nama seseorang atau atas unjuk, atau dengan memberikan kuasa untuk
memindahkannya kepada orang lain, atau atas nama si pembawa surat kuasa.
Syarat-syarat formal yuridis dan penggunaan surat pernyataan atau perintahpembayaran, sebagai alat pembayaran giral yang diatur dalam pasal 178 KUH Dagang adalah :
  Pada perumusan surat pernyataan/perintah bayar harus terdapat perkataan cek/check/cheque, dalam bahasa yang dipakai untuk merumuskan bunyi surat pernyataan/perintah bayar tersebut.
  Surat pernyataan bayar harus berisikan perintah tak bersyarat untuk membayarsejumlah uang tertentu.
  Nama pihak yang harus membayar (tertarik, drawee, bentrokene), haruslah nama suatu bank.
  Harus disebutkannya tempat dimana pembayaran dilakukan.
  Penyebutan/pencantuman tanggal dan tempat surat perintah bayar tersebut dikeluarkan.
  Tanda tangan orang yang mengeluarkan pernyataan/perintah membayar.

Syarat-syarat yang disebutkan di atas mutlak harus tercantum, dan apabila satu dari enam hal tersebut tidak disebutkan, maka surat pernyataan/perintah bayar tersebut
tidak dikeluarkan sebagai cek, check/cheque. Ketentuan ini terdapat di dalam pasal 179 ayat (1) KUH Dagang. Ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi oleh penarik atau pemegang rekening
giro, seperti :
1.Pemberian nomor rekening di atas selembar cek/cheque
Untuk mempermudah dan mempertegas serta melihat keabsahan dari cek yang dikeluarkan oleh pemegang rekening, serta untuk menghindari terjadinya penyimpangan dan penyelewengan-penyelewengan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
2.Endorsment
Pemindahan hak suatu cek atas unjuk kepada orang atau pihak lain, dimana penerbitan cek tadi ditujukan pada suatu nama pembawa atau bea remnya dicoret, pelaksanaan endorsment dengan cara ditanda tangani pada halaman belakang cek oleh yang namanya tercantum di atas tersebut.
3.Cross Cheque
Yaitu selembar cek yang diberi dua garis sejajar pada sisi atas atau sebelah kiri warkat yang bersangkutan. Arti dari dua garis sejajar tersebut sebagai pernyataan bahwa cek yang bersangkutan tidak dapat ditarik secara tunai, sehingga fungsinya sama dengan bilyet giro yaitu sebagai pemindahbukuan saja.
Ada dua jenis cross cheque yang dilakukan yaitu :
a.Cheque cross secara umum, yaitu crossing yang hanya merupakan garis sejajar
b.Cek yang di cross secara khusus, yaitu crossing yang juga merupakan dua garis sejajar pada sisi kiri sebelah atas suatu cek, tetapi diantara kedua garis sejajar tadi dicantumkan nama yang berhak atas cek yang di cross tersebut.
4.Coretan-coretan yang harus dilegalisir penarik
Tujuan serta ketenuan-ketentuan yang harus dipenuhi untuk sahnya setiap coretan atau pembatalan pada warkat payment orders yang berlaku dalam usaha perbankan.
5.Bagi warkat-warkat/surat-surat berharga yang diterbitkan oleh nasabah suatu bank dimana nasbah tersebut mengadakan transaksi dengan bank.
6.Coretan-coretan atau pembatalan pada redaksi atau teks untuk warkat atau surat-surat berharga yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh bank harus juga dilegalisir oleh petugas yng ditunjuk atau pejabat bank yang menandatangani warkat atau surat berharga yang dimaksud.

Untuk diketahui bahwa dual custodian bagi American Banking System adalah
merupakan pengendalian yang ampuh untuk hal-hal yang sifatnya pengamatan atau proteksi bank.
1.Counter Cheque
Media payment order ini pada umumnya digunakan bilamana seorang nasabah dari suatu bank yang akan menarik dananya dari bank yang bersangkutan dimana media yang seharusnya digunakan nasabah tersebut yaitu cek, tertinggal atau telah habis persediaannya (pada nasabah). Bank dapat menyediakan melayani penarikaan tunai, dengan menyerahkan media yang disediakan oleh bank yaitu counter cheque kepada nasabah yang bersangkutan. Syarat-syarat dapat diterbitkan counter cheque atau dianggap sahnya media tersebut, bilamana pemegang rekening (nasabah bersangkutan melakukan pengisian di depan petugas bank itu sendiri. Penandatanganan counter cheque ini juga harus di atas materai yang cukup dan sesai nilainya dari dana bea materia terhadap cheque.
2.Cek Mundur
Yang dimaksud cek mundur atau post dated adalah cek yang bertanggal lebih kemudian dari tanggal saat cek tersebut diuangkan atau dicairkan. Undang-undang menetapkan bahwa cek-cek yang bertanggal mundur harus dibayar oleh bank tertarik apabila diserahkan oleh pemegang uang untuk diuangkan atau dicairkan, sepanjang cek tersebut memenuhi syarat-syarat formal dan pada saat pencairan tersebut tersedianya dana didalam rekening penarik. Penarik tidak dapat mengajukan gugatan kepada bank, oleh sebab itu diterbitkan suatu media yang dapat menjamin terikatnya perjanjian, antara penarik yang mengeluarkan cek mundur dengan penerima, yaitu media giro bilyet.
3.Cek Hilang
Menurut ketentuan yang berlaku sesuai dengan pasal 206 KUH Dagang, tenggang waktu berlakunya suatu cek adalah selama 70 (tujuh puluh) hari, dan karenanya usaha yang dilakukan penarik, baik melalui iklan pada surat-surat kabar maupun dengan cara lain dalam usaha membatalkan atau menyatakan tidak berlakunya statu cek, sebelum terlewatinya masa berlaku yang telah ditetapkan, bank berhak untuk tidak melayani usaha-usaha yang dilakukan oleh nasabah, tetapi bank hanya akan memperhatikan bilamana penarik memberitahukan secara tertulis kepada bank atas kehilangan cek tersebut. Untuk cek yang hilang ini, telah ada ketentuan-ketentuan yang mengatur untuk diperhatikan oleh bank agar tidak melakukan pembayaran, yaitu :
a.Laporan dapat diperhatikan apabila pelapor mengajukan kepada bank pemberitahuan secara tertulis dengan disertai surat keterangan hilang dari kepolisian setempat, sebagai bukti bahwa kejadian tersebut telah diketahui dan dilaporkan sebelumnya kepada polisi.
b.Bank tidak hanya melayani pemintaan pelapor melalui telepon atau lisan, karena sebelum bank bertindak untuk melaksanakan permintaan atau pernyataan karena cek hilang dari pelapor, untuk cek yang dinyatakan hilang tadi diblokir pembayarannya, bank harus melakukan verifikasi atas pelapor bersangkutan disamping surat keterangan hilang dari kepolisian.
c.Apabila cek yang dinyatakan hilang tersebut, diajukan kepada bank, dimana bank telah menerima pernyataan tertulis berikut surat keterangan polisi dari pelapor, maka tidak perlu memperhatikan cukup tidaknya dana dalam rekening penarik, bank harus segera menghubungi pelapor dan polisi yang mengeluarkan surat keterangan yang dimaksud.
d.Sehubungan dengan pernyataan cek hilang ini, rekening penarik tidak perlu diblokir. Pelayanan atas pelapor cek hilang ini semata-mata adalah merupakan service yang diberikan bank kepada nasabahnya. Oleh karena itu biasanya bank akan mencantumkan beberapa klausul pada surat pernyataan pelaporan hilang yang ditandatangani nasabah tersebut, yang berbunyi : “Bank akan melakukan stop payment order ini sepanjang cek juga bilyet giro yang dibatalkan atau warkat bank lainnya yang dimaksud belum dibayarkan”. Bank tidak bertanggungjawab atau mempunyai kewajiban apapun seandainya cek, bilyet giro atau warkat bank lainnya dimaksud karena satu dan yang lain sebab (seperti faktor waktu dalam memproses informasi, kelambatan administrasi, kealpaan atau faktor-faktor lainnya terbayarkan.

Sabtu, 27 Juni 2015

Pembuktian

Dalam Hukum Acara Perdata terdapat beberapa jenis pembuktian yang dikenal dewasa ini, akan tetapi pembuktian tersebut haruslah sesuai dengan asasnya yakni "Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau peristiwa atau mengajukan suatu peristiwa untuk menguatkan hak-nya atau menyangkal hak orang lain harus membuktikan adanya hak itu" setelah menelaah asas tersebut barulah kita dapat mengetahui bahwa bukti yang disebutkan terdiri atas :

A. Bukti Tertulis
Sesuai dengan ketentuan pasal 164 HIR, bukti Tertulis dapat digolongkan pada bukti surat yang adalah segala yang memuat tanda-tanda bagan yang dimaksud itu mencurahkan isi hati dan buah pikiran. Sebagai alat bukti surat dapat dibedakan menjadi dua yakni:
1) Akta Otentik berdasarkan 165 HIR/285 RBg dan Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dapat disimpulkan menjadi akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang dan dibuat menurut ketentuan dan oleh pejabat yang berwenang. Contohnya, akta notaris, berita acara sidang, berita acara kepolisian (pidana).
2) Akta dibawah tangan adalah suatu perjanjian yang dibuat tanpa dengan bantuan dari seorang pejabat, yang dibuat dengan sengaja oleh kedua belah pihak atau lebih dan ditandatangani yang bersangkutan dan memiliki kekuatan bukti yang sempurna bila tanda tangan tersebut diakui oleh para pihak dan sesuai dengan penilaian hakim kekuatan hukumnya, apabila para pihak tidak mengakuinya.

B. Saksi
Saksi adalah seorang atau lebih yang memberikan keterangan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang menjadi sengketa dengan cara lisan yang bukan pihak dalam berperkara atau sengketa. Keterangan yang disampaikan oleh saksi pada umumnya sesuai dengan peristiwa dan kejadian yang dialami sendiri. Dalam mengajukan saksi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ada saksi yang "Testimonium de auditu" yakni seorang saksi atau lebih memberikan keterangan berdasar apa yang dia dapat keterangan dari orang lain dan juga "Unustestis Nullustestis" keterangan seorang saksi yang tidak dapat menjadi alat bukti akan tetapi harus ditambah keterangan mengenainya agar dapat dipercaya dan demikianlah secara sah menjadi alat bukti. Dalam hal pembuktian kewajiban saksi diantaranya adalah wajib menghadap persidangan, wajib untuk disumpah dan wajib memberikan keterangan. Golongan yang tidak bisa menjadi saksi terdiri atas dua kriteria yakni, tidak mampu secara mutlak seperti keluarga sedarah, semenda, menurut keturunan garis lurus dan suami atau istri. Sedangkan yang tidak mampu secara relatif (nisbih) diantaranya adalah anak yang belum cukup umur 15 tahun dan orang gila (stress). Dalam aspek pembuktian yang dapat dibebaskan dari kewajiban memberi kesaksian diantaranya, saudara laki-laki atau perempuan, ipar laki-laki dan perempuan, hingga keluarga yang secara garis lurus serta saudara dari suami-istri dan pihak yang karena martabat dan kewajiban menyimpan rahasia.

C. Persangkaan
Persangkaan adalah segala kesimpulan-kesimpulan yang oleh Undang-undang atau hakim diambil dari suatu peristiwa yang nyata kearah peristiwa lain yang pada dasarnya belum terang suatu kenyataan tersebut. Berdasarkan pasal 1915 Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada dua jenis persangkaan, yakni :
1) Persangkaan menurut Undang-undang adalah perbuatan yang menurut undang-undang dinyatakan batal demi hukum seperti perjanjian narkotika, perdagangan anak, perdagangan bayi dan perempuan.
2) Dan persangkaan menurut hakim adalah suatu peristiwa yang terjadi dipersidangan seperti keputusan verstek.

D. Pengakuan
Pada umumnya pengakuan dapat diberikan dimuka hakim saat persidangan berlangsung ataupun diluar persidangan. Pengakuan ialah keterangan yang membenarkan suatu keadaan atau peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi dan diajukan oleh para pihak. Pengakuan yang disampaikan dimuka hakim kekuatan buktinya sempurna dan mengikat, pada asasnya tidak dapat ditarik kembali (pasal 174 HIR) terkecuali ada kekhilafan. Dan untuk pengakuan yang dilakukan diluar persidangan kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada penilaian hakim (pasal 175 HIR). Dalam ilmu pengetahuan Pengakuan dubedakan atas tiga macam, yakni:
1) Pengakuan murni, adalah pengakuan yang memiliki sifat sederhana sesuai dengan tuntutan pihak lawan. Contohnya, dalam gugatannya penggugat menyatakan tergugat mempunyai hutang Rp.50.000.000,00 dan hal ini diakui tergugat untuk sepenuhnya.
2) Pengakuan dengan kualifikasi, adalah pengakuan beserta dengan sangkalan sebagian dari tuntutan (petitum). Contohnya, dalam hal ini tergugat mengakui benar memiliki hutang dengan penggugat akan tetapi besarannya tidak sesuai atau sebesar yang didalilkan Penggugat dalam gugatannya.
3) Pengakuan dengan klausul, adalah pengakuan yang disertai keterangan tambahan yang sifatnya membebaskan tergugat dari tuntutan. Contohnya, tergugat mengakui memiliki hutang benar dengan jumlah yang sesuai yang dinyatakan penggugat akan tetapi sudah dibayar lunas oleh tergugat.

E. Sumpah
Sumpah ialah suatu pernyataan yg khidmat yang diberikan dan diucapkan dipersidangan dengan mengingat nama yang maha esa, bagi orang yang melanggar sumpah ia akan dihukum oleh yang maha esa. Sumpah dalam alat bukti diatur dalam pasal 155, 156, 158 dan 177 HIR. Yang disumpah salah satu pihak yang berperkara adalah tergugat atau penggugat, 3 macam sumpah menurut HIR yakni :
1) Sumpah pelengkap (suppletoir) adalah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya untuk melengkapi pembuktian yang ada sebagai dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusannya dan dalam upaya pembuktian dibutuhkan adanya pembuktian permulaan terlebih dahulu. Dan jika seseorang diantara yang berperkara diminta untuk bersumpah tidak sedia maka pihak tersebut dikalahkan dalam perkara tersebut, untuk itu sumpah tidak diperkenankan dikembalikan kepihak lain untuk diambil sumpahnya. 155 HIR
2) Sumpah pemutus (decisoir)  adalah sumpah yang dimintakan oleh salah satu pihak ke pihak lain untuk diambil sumpahnya karena tidak adanya alat bukti, dan bila pihak penerima disumpah tidak mau mengangkat sumpah dan tidak mengembalikan sumpah kepada pihak yang menyuruh maka pihak yang penerima sumpah dikalahkan dalam perkara. Sebaliknya, apabila pihak penerima sumpah mau mengangkat atau mengembalikan sumpah maka ia dimenangkan dalam perkara itu.
3) Sumpah penafsiran (aestimatoir)

Sabtu, 23 Mei 2015

Keputusan Sirkuler (Circular Resolution)

Pengambilan keputusan seperti ini dilakukan tanpa diadakan RUPS secara fisik, tetapi keputusan diambil dengan cara mengirimkan secara tertulis usul yang akan diputuskan kepada semua pemegang saham dan usul tersebut disetujui secara tertulis oleh seluruh pemegang saham. Berdasarkan kutipan dari Pasal 91 UU Perseroan Terbatas dan penjelasannya, maka dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan para pemegang saham dengan cara mengedarkan usulan kepada para pemegang saham (di luar RUPS) untuk disetujui atau dikenal dengan nama circular resolution adalah memiliki kekuatan hukum yang sama dengan Keputusan RUPS, tentunya dengan syarat utama yaitu seluruh pemegang saham harus menyetujui dan menandatangani circular resolution secara bulat tanpa terkecuali.
Persetujuan dari seluruh pemegang saham, merupakan syarat mutlak keabsahan keputusan di luar RUPS. Tidak boleh satu pemegang saham pun yang tidak setuju. Jika terjadi hal yang seperti itu, mengakibatkan circular resolution tersebut tidak sah.

Rabu, 12 November 2014

Kontradiksi Peninjauan Kembali

Ketentuan mengenai Peninjauan Kembali (KUHAP Pasal 268 ayat (3)), hanya dapat dilakukan satu kali telah dihapus sesuai dengan keputusan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang dikarenakan bertentangan dengan Konstitusional pada pasal 28j UUD 1945.